Yogya.co, YOGYAKARTA – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kaitan erat dengan sejarah Kemerdekaan Indonesia.
Jika kita menengok ke belakang tepatnya di tahun 1946 Yogyakarta pernah menjadi pusat pemerintahan Republik Indonesia lantaran situasi di Jakarta yang saat itu dinilai tidak aman.
Pada saat itu wilayah Jakarta mengalami ancaman serta intimidasi dari pasukan Sekutu serta Belanda yang ingin mengambil alih pemerintahan Indonesia dari Jepang.
Dengan keadaan tersebut pemerintah mengadakan sidang kabinet pada tanggal 3 Januari 1946 dengan pembahasan pemindahan pemerintahan RI dari Jakarta ke Yogyakarta.
Oleh sebab itu, Presiden Ir. Soekarno dan Wakil Presiden Dr. Mohammad Hatta secara diam-diam pindah dari Jakarta ke Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946.
Sejak saat itulah ibu kota Indonesia pindah ke Yogyakarta sebelum akhirnya kembali lagi ke Jakarta pada tahun 1950.
Selain berkaitan dengan sejarah Kemerdekaan Indonesia, Provinsi DIY hingga kini pun menjadi tujuan tempat wisata terbesar kedua di Indonesia setelah Pulau Bali.
Di balik prestasi yang diraihnya tersebut Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sejarah yang cukup panjang untuk berdiri dan menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia.
Sejarah Kota Yogyakarta
Perjanjian Giyanti yang diciptakan dan ditandatangani oleh Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jenderal Jacob Mossel pada tanggal 13 Februari 1755 menjadi dasar terbentuknya Kota Yogyakarta.
Dalam perjanjian tersebut dijelaskan bahwa Negara Mataram dibagi menjadi dua wilayah.
Dua wilayah tersebut, yakni setengah wilayah menjadi hak Kerajaan Surakarta. Sementara wilayah lainnya menjadi hak Pangeran Mangkubumi yang kala itu juga diakui sebagai Raja atas setengah wilayah Pedalaman Kerajaan Jawa.
Pangeran Mangkubumi kala itu kemudian mendapatkan gelar Sultan Hamengku Buwini Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Daerah-daerah yang menjadi bagian dari kekuasaannya, yaitu Mataram (Yogyakarta), Sukowati, Bagelen, Pojong, Bumigede, Kedu serta daerah mancanegara yang meliputi Madiun, Cirebon, Magetan, Kartasura, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Sela, Ngawen, Wonosari, Kuwu, Grobogan, dan Separuh Pacitan.
Pada tanggal 13 Maret 1755 Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I) menetapkan Mataram diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan ibu kotanya berada di Ngayogyakarta (Yogyakarta).
Wilayah ibu kota tersebut merupakan sebuah hutan yang kemudian dibabat untuk didirikan sebuah keraton.
Seiring dengan pembangunan keraton, Sri Sultan Hamengku Buwono I untuk sementara waktu singgah di Pesanggrahan Ambarketawang yang berada di daerah Gamping.Â
Berdirinya Kota Yogyakarta pun dimulai pada tahun 1755 bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat ini.
Pada tanggal 7 Oktober 1756 Sri Sultan Hamengku Buwono I baru memasuki wilayah keraton sebagai peresmiannya.
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Sejarah berdirinya Yogyakarta pun masih berlanjut hingga masa setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VIII mengetok Presiden dan menyatakan bahwa Daerah Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman masuk menjadi bagian dari wilayah Republik Indonesia dan bergabung menjadi satu kesatuan, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam VIII yang saat itu selaku Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menjadi pihak yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia dengan pegangan hukum, yakni Piagam kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 19 Agustus 1945 dari Presiden RI, Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 5 September 1945, dan Amanat Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII tertanggal 30 Oktober 1945.