Edwin kembali dengan film misteri nya setelah pada tahun 2021 sukses dengan film Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas yang cukup fenomenal. Kabut Berduri dengan judul internasional Borderless Fog merupakan judul film terbaru Edwin dan merupakan film original Netflix.
Mengangkat isu yang kompleks dan dibalut dengan genre misteri menjadi daya tarik sendiri dari film ini, mengingat masih sedikit film bergenre misteri di Indonesia. Apakah film Kabut Berduri mampu membuat perfilman Indonesia lebih beragam?
Mari kita simak reviewnya!
Sinopsis Singkat Kabut Berduri
Kisah Kabut Berduri berfokus pada penyelidikan yang dilakukan oleh Sanja (Putri Marino). Sanja merupakan detektif dari kepolisian Jakarta yang dipindah tugaskan ke daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia tepatnya di Pulau Borneo.
Setelah ditemukannya jasad misterius dengan badan dan kepala dari orang yang berbeda, Sanja ditugaskan untuk menyelidiki kasus tersebut. Dalam penyelidikannya, Sanja ditemani dengan Thomas (Yoga Pratama) dan Panca (Lukman Sardi) yang merupakan anggota polisi setempat.
Ternyata, kasus yang diungkap Sanja bagai gunung es. Ia dihadapkan tidak hanya dengan kasus pembunuhan, namun juga korupsi, perdagangan manusia, hingga kepercayaan lokal. Ditambah dengan masa lalu Sanja yang selalu mengikutinya, membuat Sanja lebih mendapatkan tekanan.
Review Kabut Berduri
Saat melihat trailer Kabut Berduri, perhatian saya langsung tertuju kepada penampilan Putri Marino yang terlihat sangat berbeda. Dengan potongan rambut pendek dan sedikit curly, mampu membuat aura Putri Marino dalam film ini lebih karismatik dan tegas. Seperti memiliki kobaran api semangat untuk mengungkap kasus yang dihadapinya.
Adu akting antara Putri Marino, Lukman Sardi, dan Yoga Pratama menjadi unsur yang penting dalam pembawaan cerita film ini. Karena, meskipun isu yang diangkat di film ini terlihat sangat menarik dan berbeda, penonton indonesia masih belum terbiasa dengan topik yang diangkat.
Film ini menceritakan tentang isu isu yang terjadi di daerah konflik. Mulai dari korupsi yang terjadi di dalam pemerintahan yang mulai menjadi hal yang biasa, persitegangan antara aktivis dayak dengan aparat, hingga perdagangan manusia. Memang, ini merupakan angin segar bagi perfilman Indonesia yang akhir akhir ini terlihat lebih seragam dengan tema “hantu-hantu”an. Namun, terlalu banyak komponen dan isu yang terlihat seperti dipaksakan untuk dibahas, sehingga beberapa bagian terasa tidak dikupas sampai habis.
Ditambah banyaknya karakter karakter yang tidak sempat diceritakan latar belakangnya dengan detail, membuat penonton semakin bingung dan tidak terlalu fokus pada karakter Sanja.
Namun, plot twist di akhir film lumayan menarik dan membuat kita semakin terkagum-kagum dengan ide dan gaya penulisan film ini. Mungkin terkesan membingungkan pada beberapa orang, karena mungkin belum terbiasa dengan ending yang open ending. Masyarakat Indonesia lebih suka ending yang jelas. Memang film ini tidak cocok untuk tayang di layar lebar, sudah paling benar tipe film seperti ini tayang di OTT atau festival film.
Kisah Mistis Kabut Berduri
Di awal film, kesan “horor” sempat dibahas sedikit dan diselipkan pada beberapa adegan. Masuknya unsur “horor” ini dibalut dengan kepercayaan lokal yang ada, yaitu Ambong yang dipercaya sebagai roh penjaga hutan setempat. Namun sayangnya, kesan “horor” tidak begitu disorot dan hanya menjadi komponen tambahan. Entah hanya untuk menunjukkan seberapa kuat masyarakat lokal dengan kepercayaan yang ada, atau hanya menambah kesan “mistis”.
Pada narasi awal film, diceritakan sosok Ambong merupakan salah satu pemimpin pemberontakan komunis PARAKU yang berhasil kabur dan diduga masih gentayangan dalam wujud siluman. Meski begitu, saya sendiri menganggap “Ambong” sebagai perwujudan atas hukum alam dan ingin memberitahu tentang dosa-dosa manusia.
Terdapat pula beberapa adegan yang menunjukkan sebuah pohon kelapa sawit yang sangat tinggi dan mengerikan, menurut saya itu adalah bentuk visualisasi dari “Ambong” sebagai wujud perwakilan dari hutan kelapa sawit yang sering menjadi “rebutan”.
Terlepas dari kisah dan penceritaan yang terkesan buru-buru dan penuh, saya menyoroti sinematografi dan scoring dalam film ini yang cukup membuat ngeri.
Salah satu adegan favorit saya adalah ketika terjadi kebakaran di salah satu desa. Kemudian Sanja berdiri dengan latar belakang rumah yang terbakar, dan kobaran api tersebut diberi efek reverse. Dengan hanya menampilkan siluet Sanja setelah adegan dia dikhianati oleh Thomas, membuat adegan ini terasa lebih menyentuh dan emosional.
Tone warna yang gelap namun masih bisa dinikmati, ditambah dengan scoring yang lumayan bikin ngeri serta penempatan jumpscare yang tipis menjadi nilai tambah untuk film Kabut Berduri ini.
Dengan segala kurang dan lebihnya, film Kabut Berduri layak mendapat apresiasi karena telah membawa suasana yang berbeda di tengah film-film Indonesia yang akhir akhir ini terlihat “template” dan seragam.