Hingga saat ini, banyak upacara adat yang masih terus dilestarikan di Jogja. Walaupun modernisasi terus memberikan perubahan yang begitu cepat di kehidupan manusia, namun Jogja tetap mempertahankan berbagai tradisi yang sudah dilakukan lintas generasi.
Upacara adat menjadi tradisi yang terus dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat Jogja.
Apa saja tradisi upacara adat yang ada di Jogja? Yuk kita cari tahun sama-sama!
1. Sekaten
Sekaten adalah salah satu upacara adat Yogyakarta yang paling terkenal. Upacara ini diadakan setiap tahun untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Selain di Jogja, upacara Sekaten juga dilaksanakan di Keraton Solo. Tradisi di Jogja ini biasanya berlangsung selama seminggu dan ditutup dengan Grebeg Maulud. Pelaksanaannya dilakukan mulai tanggal 5 sampai 11 Maulud/Rabiul Awal.
Upacara adat Yogyakarta Sekaten ini dimulai dengan dibunyikannya gamelan pusaka. Kemudian diselenggarakan upacara udhik-udhik atau disebarkannya uang logam yang dicampur dengan bermacam-macam bunga.
Gamelan pusaka akan dikeluarkan dari keraton dan dipindahkan ke halaman Masjid Besar. Puncak perayaan Sekaten ditandai dengan dikeluarkannya gunungan dari Keraton Jogja menuju Masjid Besar.
Setelah Sekaten selesai, gamelan akan dikembalikan ke dalam keraton sekaligus menandai ditutupnya upacara Sekaten.
Kamu bisa menyaksikan berbagai pertunjukan seni dan budaya serta pasar malam yang meriah di sekitar Keraton Yogyakarta.
2. Labuhan
Labuhan adalah upacara adat yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Labuhan diadakan di Pantai Parangkusumo atau Parangtritis. Kamu bisa melihat prosesi sesajen yang diarak dari keraton hingga pantai, diiringi dengan berbagai ritual dan doa.
Upacara adat di Jogja yang satu ini berasal dari kata ‘labuh’ yang artinya ‘larung’ atau membuang sesuatu ke dalam air (sungai atau laut). Upacara ini bertujuan untuk mempersembahkan sesajen kepada penguasa laut selatan, Ratu Kidul.
Tradisi Labuhan sudah dilaksanakan sejak Kerajaan Mataram Islam didirikan oleh Panembahan Senopati zaman dahulu. Benda-benda yang akan dilarung biasanya adalah benda-benda milik Sultan yang bertahta.
3. Grebeg Maulud
Grebeg Maulud adalah bagian dari perayaan Sekaten. Upacara ini melibatkan arak-arakan gunungan, yaitu makanan yang disusun menyerupai gunung, dari Keraton Yogyakarta ke Masjid Gedhe Kauman.
Kamu bisa melihat ribuan orang yang berusaha mendapatkan bagian dari gunungan ini, karena dipercaya membawa berkah dan rejeki.
Kata Grebeg diambil dari ‘gumrebeg’ yang bermakna ribut/riuh/ramai. Dalam bahasa Jawa, ‘anggrebeg’ berarti menggiring raja, pembesar, atau pengantin.
Gunungan grebeg merupakan representasi hasil bumi berupa sayuran, buah, hingga jananan. Hasil bumi ini kemudian akan diperebutkan oleh masyarakat.
Upacara adat Jogja ini pertama kali dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwono I. Dalam setahun, biasanya Grebeg Maulud dilakukan sebanyak tiga kali.
Pertama akan dilakukan pada tanggal 1 Syawal atau disebut dengan Grebeg Syawal yang bertujuan menghormati bulan Ramadan dan malam Lailatul Qadar.
Kemudian Grebeg Besar yang dilaksanakan pada 10 Zulhijah untuk merayakan Idul Adha. Terakhir adalah Grebeg Maulud pada tanggal 12 Rabiul Awal untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.
4. Merti Desa
Merti Desa adalah salah satu upacara adat yang masih dilaksanakan di berbagai desa di Yogyakarta hingga saat ini. Tradisi ini merupakan wujud syukur masyarakat desa atas hasil panen yang melimpah dan merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersamaan serta kesejahteraan masyarakat.
Merti Desa berasal dari kata “merti” yang berarti membersihkan, dan “desa” yang berarti kampung atau wilayah. Jadi, secara harfiah, Merti Desa berarti membersihkan desa. Namun, lebih dari sekadar pembersihan fisik, Merti Desa juga melibatkan pembersihan spiritual dan sosial.
Tujuan utamanya adalah untuk mensyukuri hasil panen, memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi seluruh warga desa, serta mempererat hubungan antarwarga.
5. Saparan
Saparan adalah upacara adat yang diadakan setiap bulan Sapar dalam kalender Jawa. Upacara ini bertujuan untuk menolak bala dan memohon keselamatan. Salah satu bentuk Saparan yang terkenal adalah Saparan Bekakak di Gamping, Sleman, yang melibatkan prosesi pemotongan bekakak (boneka manusia dari tepung beras).
Bekakak artinya korban penyembelihan hewan atau manusia. Saat pelaksanaannya, bekakak yang digunakan adalah boneka pengantin dengan posisi duduk bersila yang terbuat dari tepung ketan.
Tujuan Saparan Bekakak yaitu untuk menghormati roh Kyai dan Nyai Wirasuta yang merupakan pembawa payung Sri Sultan Hamengku Buwono I.
6. Kirab Pusaka
Kirab Pusaka merupakan upacara adat yang dilakukan oleh Keraton Yogyakarta untuk mengeluarkan dan membersihkan pusaka-pusaka keraton. Upacara ini diadakan setiap bulan Suro dalam kalender Jawa.
Bulan Suro bertepatan dengan bulan Muharram dalam kalender Hijriyah. Upacara ini dilakukan pada malam 1 Suro atau awal tahun baru Jawa. Selain itu, Kirab Pusaka juga bisa diadakan pada peristiwa penting lainnya seperti peringatan hari besar keraton atau peristiwa penting lainnya.
Tradisi Jogja ini adalah bagian dari rangkaian ritual yang penuh makna dan simbolisme, mencerminkan kearifan lokal serta keagungan budaya Jawa.
Kirab Pusaka dilakukan dengan arak-arakan benda-benda pusaka keraton untuk membersihkan dan memuliakan pusaka tersebut. Pusaka-pusaka ini tidak hanya dilihat sebagai benda mati, tetapi juga sebagai entitas yang memiliki kekuatan spiritual dan magis.
7. Tumplak Wajik
Upacara adat ini diadakan untuk memulai proses pembuatan gunungan pada Grebeg Maulud. Jadi, tradisi ini masih berkaitan dengan rangkaian Sekaten. Tumplak Wajik melibatkan pembuatan wajik, sejenis kue tradisional dari beras ketan dan gula kelapa.
Tumplak Wajik menandai awal rangkaian upacara Sekaten dimulai. Biasanya, prosesi Tumplak Wajik digelar tiga hari sebelum pelaksanaan Grebeg.
Prosesi ini biasanya hanya berlangsung 30 menit. Adonan wajik yang sudah jadi akan ditumpahkan untuk membuat kerangka gunungan estri.
8. Nyadran
Nyadran adalah upacara adat yang dilakukan untuk mendoakan arwah leluhur. Upacara ini biasanya diadakan menjelang bulan Ramadan.
Nyadran juga dikenal sebagai Ruwahan karena diadakan di bulan Ruwah. Ritual ini merupakan bentuk mendoakan leluhur yang sudah berpulang lebih dahulu.
Biasanya, Nyadran dimulai dengan besik atau membersihkan makam leluhur. Kemudian melakukan kirab atau arak-arakan menuju tempat upacara diadakan. Terakhir ditutup dengan Kembul Bujono atau makan bersama.
9. Gejog Lesung
Gejog Lesung biasanya digelar setelah melakukan panen. Tradisi ini berasal dari kata ‘gejog’ yang berarti sahut-sahutan dan ‘lesung’ yang merupakan alat penumbuk padi.
Tujuan upacara adat ini adalah untuk menggambarkan kegembiraan petani setelah panen. Hingga saat ini, tradisi Gejog Lesung masih dilakukan di beberapa kabupaten di Jogja seperti di Bantul, Sleman, dan Kulon Progo.
Seiring berkembangnya zaman, Gejog Lesung mengalami banyak modifikasi dan perubahan untuk menambahkan daya tariknya sebagai seni pertunjukan asli Jogja.
10. Rebo Pungkasan
Upacara ini diselenggarakan setiap hari Rabu terakhir pada bulan Safar. Rebu Pungkasan atau Rebo Wekasan merupakan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan dan Kyai Faqih Usman yang dipercaya masyarakat memiliki kemampuan menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Konon, Sri Sultan Hamengkubuwomo I bertemu Kyai Faqih Usman pada hari Rabu terakhir bulan Safar. Rebo Pungkasan biasanya digelar di depan masjid dan masih sering dilakukan di Desa Wonokromo, Pleret, Bantul.
—
Tradisi Jogja adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Yogyakarta. Selain 10 upacara adat Jogja di atas, masih ada banyak tradisi lainnya yang sering dilakukan masyarakat seperti Jamasan Pusaka, Masangin, Merti Code, Tunggul Wulung, dan lainnya.