Yogya.co, SLEMAN – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah, Cholil Nafis mengatakan bahwa bersikap golput (golongan putih) atau memutuskan tidak memilih di Pemilu 2024 hukumnya haram.
Hal tersebut disampaikan oleh Cholil melalui unggahan di akun X miliknya @cholilnafis saat merespon MUI Sumatra Utara yang menyatakan golput di Pemilu 2024 hukumnya haram, Sabtu (16/12/2023).
“Soal alasan tak ada yg ideal ya hidup ini tak selalu bisa sesuai harapan. klo tak bisa sempurna minimal tak bahaya dan tak membahayakan,” tulis Cholil.
Pernyataan MUI Sumatra Utara tersebut tertuang dalam 10 Taujihat dari Rapat Koordinasi Daerah (Rakorda) Zona 1 2023 yang digelar beberapa waktu lalu.
Fatwa tersebut sudah dikeluarkan di Ijtima’ Ulama seluruh Indonesia pada 2009.
Menurut Cholil, fatwa MUI yang menyatakan bahwa hukum menggunakan hak pilih adalah wajib.
Bila tidak ada pemimpin, maka mafsadat atau kerusakan bisa jadi lebih besar.
Meskipun keputusan Ijtima’ Ulama sudah dikeluarkan 14 tahun silam, hasilnya masih berlaku sampai sekarang.
Hal tersebut akan mendatangkan pahala juga dikerjakan dan berdosa jika ditinggalkan.
Fatwa tersebut menjadi pegangan MUI untuk Pemilu 2024 mendatang.
Dikutip dari Kompas.com, Cholil mengatakan bahwa ada beberapa sifat yang harus dimiliki pemimpin, yaitu shiddiq (jujur), tabligh (menyampaikan), amanah (dapat dipercaya), dan fathonah (cerdas).
Sifat-sifat itu adalah empat sifat baik yang dimiliki oleh Nabi Muhammad SAW.
Cholil menegaskan, jika umat Islam tidak menggunakan hak pilihnya, berarti mereka tidak ikut bertanggung jawab atas kemajuan masa depan bangsa.
Sementara itu, Pemilu 2024 yang terdiri dari Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) akan digelar pada Rabu (14/2/2024) mendatang.
Adapun keputusan Ijtima’ Ulama yang disinggung oleh Cholil berisi beberapa penggunaan hak pilih dalam Pemilu.
Pertama, pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
Kedua, memilih pemimpin (nashbu al imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.
Ketiga, imamah dan imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.
Keempat, memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hukumnya adalah wajib.
Kelima, memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau sengaja tidak memilih padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.