HomeNews YogyaDijuluki Sebagai Provinsi Termiskin Tapi Bahagia, Kenali Prinsip‘Prasojo lan Sak Madyo’ Masyarakat...

Dijuluki Sebagai Provinsi Termiskin Tapi Bahagia, Kenali Prinsip‘Prasojo lan Sak Madyo’ Masyarakat Yogyakarta

Yogya.co, SLEMANBaru-baru ini, perkara julukan provinsi termiskin di Indonesia yang dikantongi oleh Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tengah ramai diberitakan.

Kota Gudeg itu didapuk sebagai provinsi termiskin usai Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Yogyakarta mencapai 11,49 persen atau 463.630 orang.

Angka tersebut merupakan jumlah paling tinggi dibandingkan data penduduk miskin di berbagai wilayah yang lain di Indonesia per Septermber 2022.

Selain itu, Upah Minimum Provinsi (UMP) Yogyakarta juga diketahui merupakan UMP terkecil kedua di Indonesia.

Namun, data yang menunjukkan bahwa Yogyakarta berada pada peringkat teratas sebagai provinsi termiskin di pulau jawa itu jauh berbeda dengan Indeks Kebahagiaan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Dalam Indeks Kebahagiaan yang dirilis BPS tahun 2021, provinsi DIY menempati peringkat ke-14 sebagai provinsi paling bahagia se-Indonesia.

Adapun angka harapan hidup di DIY mencapai angka tertinggi, yakni 74 tahun, di atas rata-rata nasional, 71 tahun.

Lantas, apa pengaruh rendahnya upah dan tingginya angka kemiskinan di Yogyakarta tersebut dengan tingkat kebahagiaan penduduknya?

Jadi Provinsi Termiskin Tapi Bahagia, Begini Prinsip Hidup Prasojo lan Sak Madyo Masyarakat Yogyakarta

Konsep kemiskinan dan kesejahteraan hidup bagi sebagian besar masyarakat Yogyakarta ternyata memiliki ukuran serta standar tersendiri.

Tak seperti indikator yang digunakan oleh BPS, yakni menentukan tingkat kemiskinan yang dihitung berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan, akan tatapi berdasarkan penerimaan dan kelapangan dada dalam menjalani hidup yang sederhana.

Hal tersebut salah satunya disampaikan oleh seorang Konsultan Pemasaran, Yuswohady, dilansir dari Liputan6, Rabu (25/1/2023).

Yuswohady yang terlahir dari keluarga tulen Yogyakarta, besar dalam tradisi kentalnya.  Salah sati prinsip hidup masyarakat Yogyakarta yang juga diwariskan kepada Yuswohady adalah ‘Urip Prasojo lan Sak Madyo’.

Baca Juga :  7 Rekomendasi Wisata Edukasi Cocok untuk Study Tour di Yogyakarta

Ungkapan tersebut berarti hidup sederhana dan tidak berlebihan. Tak perlu banyak bertingkah dan hidup dengan sewajarnya.

Karena prinsip hidup yang turun temurun tersebut, masyarakat Yogyakarta bisa hidup dengan bahagia meski tak memiliki pendapatan yang tinggi.

Adanya prinsip tersebut juga didukung dengan konsep ‘Sithik Eding’ yang juga masih melekat di tengah kehidupan masyarakat Yogyakarta.

Fakta upah terendah tapi  hidup bahagia yang dilekatkan pada kota pendidikan ini kemudian banyak dilihat dari sisi budaya.

Salah satu orang yang menyampaikan persoalan tersebut adalah seorang antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra.

Adaun ungkapan tersebut mencerminkan cara pandang masyarakat Yogyakarta terhadap materi. Orang Jawa dikenal mengutamakan kebersamaan, keharmonisan, dan menurunkan nilai penting materi atau harta.

Lebih lanjut, Heddy Shri Ahimsa Putra juga mengungkapkan bahwa konsep tersebut membuat masyarakat Yogyakarta akhuirnya tidak terlalu mengkhawatirkan persoalan kemiskinan tersebut.

Dalam konsep ‘Sithik Eding’, mereka berpandangan bahwa mereka akan mendapatkan materi yang sama meski sedikit. Berbagi sama-sama yang diusung dalam konsep tersebut tidak mementingkan persoalan jumlah.

Selain persoalan materi, berbagi dalam hal ini adalah memberikan kenyamanan hidup dan mengajarkan bahwa materi bukan hal utama.

Menurut Heddy, fenomena sosial semacam itu tidak bisa ditangkap oleh BPS yang menilai dari ukuran statistik. Oleh karena itu akan sulit mencari penjelasan terkait relasi upah rendah dan dinilai menjadi provinsi termiskin tapi bahagia.

Adanya konsep tersebut juga membawa dampak terhadap orang-orang yang saat ini telah berada dalam usia senja. Di mana mereka cenderung menjalani hidup dengan lebih tentram dan sederhana.

“Kebahagiaan hidup dan usia harapan hidup tinggi, mungkin karena memang hampir semua kebutuhan hidup, lagir dan batin, relatif terpenuhi, karena biaya hidup yang murah, sifat gotong royong dan kepedulian sosial yang tinggi, sehingga relatif kecil orang hidup susah, walau mungkin pendapatannya rendah,” tutur Heddy.

Baca Juga :  Jadi PR Pemerintah, Teras Malioboro Banjir Saat Hujan Deras

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Related Articles