Mubeng Beteng merupakan salah satu tradisi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang digelar ketika memasuki tahun baru, baik tahun baru hijriah maupun tahun baru jawa. Tradisi ini dilaksanakan saat malam 1 Suro yang bertepatan dengan 1 hijriah.
Tradisi Mubeng Beteng menjadi bagian dari tirakat lampah ratri. Lampah ratri diartikan sebagai tirakat dengan bermunajat kehadirat Tuhan YME dengan mengikuti lintasan tertentu.
Selain itu, tradisi Mubeng Beteng juga menjadi salah satu warisan budaya tak benda. Hingga saat ini, tradisi ini masih dilaksanakan loh, namun tidak bisa sembarangan dalam pelaksanaannya.
Yuk kita cari tahu lebih dalam tentang tradisi mubeng beteng yang masih dilestarikan di Jogja!
Tradisi Mubeng Beteng Sudah Ada Sejak Abad ke-6
Dilansir dari laman resmi Dinas Kebudayaan Jogja, tradisi Mubeng Beteng sudah ada sejak era Sultan Hamengku Buwono II, yaitu abad ke-6.
Awalnya, tradisi Mubeng Beteng merupakan upacara resmi atau upacara kenegaraan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang hanya dilakukan oleh para abdi dalem atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono yang bertahta pada saat itu.
Seiring berjalannya waktu, tradisi ini dilaksanakan oleh abdi dalem dan masyarakat.
Sejarah Mubeng Beteng tak lepas kaitannya dengan prosesi hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah.
Dikutip dari laman resmi Dinas Kebudayaan Jogja, Tradisi Mubeng Beteng terinspirasi dari prosesi hijrah yang merupakan perjalanan penuh dengan penderitaan dan keprihatinan melintasi hamparan pasir yang panas tanpa menggunakan alas kaki.
Prosesi dan Pantangan saat Melaksanakan Tradisi Mubeng Beteng
Masyarakat atau abdi dalem yang melaksanakan tradisi Mubeng Beteng berjalan mengelilingi benteng keraton tanpa alas kaki dan tapa bisu (tanpa berbicara).
Ketika melakukan prosesi ini, bagi yang mengikuti juga dilarang untuk makan, minum dan merokok. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk introspeksi diri atas yang telah diperbuatnya.
Kembali dikutip dari laman resmi Dinas Kota Jogja, tradisi Mubeng Beteng diawali dengan pembacaan tembang Jawa.
Tembang Jawa yang umumnya dinyanyikan adalah bagian dari tembang macapat Dhandhanggula. Alasan utamanya pembacaan tembang macapat ini adalah karena Tembang Dhandhanggula menggambarkan kisah anak muda yang mengalami hal hal yang indah, dengan harapan tahun baru membawa kebahagiaan.
Setelah pembacaan tembang-tembang jawa, dibacakan pula doa akhir tahun, doa awal tahun, dan doa bulan suro.
Dilanjutkan dengan pelepasan yang ditandai bunyi lonceng sebanyak 12 kali. Prosesi dilaksanakan dengan berjalan mengitari Benteng Keraton berlawanan arah jarum jam sejauh kurang lebih 4,5 kilometer.
Bagi masyarakat luar yang ingin mengikuti tradisi Mubeng Beteng, dapat berbaris di belakang barisan para abdi dalem dan harus mengikuti peraturan dan pantangan yang ada. Sebab tujuan dari tradisi ini adalah untuk menyambut tahun baru islam dan jawa dengan penuh khidmat dan refleksi diri.
Hal itulah yang membedakan dengan perayaan tahun baru masehi yang dirayakan dengan hingar bingar.
Sudah menjadi tugas kita untuk memelihara dan melestarikan budaya budaya yang ada di Indonesia. Karena budaya dan tradisi adalah salah satu keindahan dan keistimewaan Indonesia. Salah satu cara dalam memelihara budaya yang ada adalah dengan memahami dan mendalami makna makna yang tersimpan dalam budaya dan tradisi tersebut.